PASAMAN BARAT, - - Pada pemilu pertama tahun 1955, pejabat negara, Aparatur Sipil Negara, TNI/Polri diperbolehkan menggunakan hak suaranya tanpa ikatan aturan untuk bersikap netral. Artinya, semua warga negara boleh memilih menjadi partisan.
Diselenggarakan berdasarkan UU N0. 7 Tahun 1953, pemilu kala itu tujuannya untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante. Tidak ada acara untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan tidak ada acara untuk memilih presiden.
Berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und tanggal 23 April 1953 dan Nomor 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, badan penyelenggara pemilu adalah Panitia Pemilihan Indonesia di pusat, Panitia Pemilihan di daerah pemilihan (provinsi), Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) di kabupaten, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kecamatan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (TPS) di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Penyelenggara pemilu pada waktu itu, mulai dari pusat sampai ke KPPS bersifat ad hoc, dan tidak ada badan khusus yang mempunyai peran dan fungsi pengawasan pemilu.
Baca juga:
Krikil Tajam Buat Aparatur Sipil Negara
|
Fakta dalam catatan sejarah pemilu di Indonesia, Pemilu 1955 dinilai sebagai pemilu yang sangat demokratis dan bermutu. Tidak ada tuduhan berpihak terhadap pemerintah. Tidak ada peserta pemilu yang dituduh berkonspirasi dengan penyelenggara, tidak ada tuduhan-tuduhan kepada penyelenggara melakukan penggelembungan suara atau kecurangan lainnya.
Asas pemilu pada waktu itu adalah jujur, umum, berkesamaan, rahasia, bebas, dan langsung, dinilai terlaksana tanpa cacat dan berjalan sebagaimana harapan. Hasilnya diterima pihak yang kalah tanpa protes macam-macam, apalagi mencari-cari alasan macam-macam untuk memprotes hasilnya.
Pemilu kedua diselenggarakan pada 5 Juli 1971. Tujuannya adalah untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai politik. Dimana, anggota DPR dan DPRD pada waktu itu, berasal dari utusan daerah/golongan, dari TNI/Polri, dan dari partai politik berdasarkan hasil pemilu.
Penyelenggara pemilu pada Pemilu 1971 adalah Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970, dan Ketua LPU langsung dijabat oleh Menteri Dalam Negeri. Strukturnya: Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di pusat yang diketuai Menteri Dalam Negeri, Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Tingkat I di provinsi yang diketuai gubernur, Panitia Pemilihan (PPD) Tingkat II di kabupaten/kota yang diketuai bupati/walikota, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kecamatan yang diketuai camat, Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) di desa/kelurahan/nagari yang diketuai kepala desa/ lurah/walinagari, serta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan ketuanya diambil dari Pegawai Negeri Sipil yang ada di lingkup TPS berada.
Untuk menampung hak pemilih yang berada di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Status LPU, mulai dari PPI sampai ke KPPS bersifat ad hoc atau berdiri sementara waktu atau selama seperlunya saja.
Terkait dengan badan yang berperan dan berfungsi untuk pengawasan pemilu, Pemilu 1071, sama dengan Pemilu 1955. Yakni, sama-sama tidak mempunyai badan pengawas. Perbedaan mencoloknya: pada pemilu 1955, Aparatur Sipil Negara dan TNI/Polri bebas berpartai. Pada pemilu 1971, Aparatur Sipil Negara wajib bersikap netral, tidak boleh berpartai politik, tetapi tetap menggunakan hak suaranya. TNI/Polri wajib bersikap netral dan tidak dibenarkan menggunakan hak suaranya.
Asas Pemilu 1971 adalah "luber"; langsung, umum, bebas, dan rahasia. Tetapi pada faktanya, menurut sejarawan Anhar Gonggong, Sekretaris Bersama Golongan Karya (Golkar) dijadikan kendaraan politik oleh Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, Pegawai Negeri Sipil, Persatuan Guru Republik Indonesia, dan birokrasi di semua tingkat menjadi alat mobilisasi rakyat dari pusat sampai ke dasa-desa agar memilih Golkar.
Lalu, masuk pada Pemilu 1977. Partai politik di luar Golongan Karya difusikan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Sehingga kontestan Pemilu pada tahun 1977 hanya terdiri dari 3 (tiga): Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya Golkar). Masih belum juga ada suatu badan yang berperan dan berfungsi sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu.
Kecurangan dan keberpihakan pemerintah dan penyelenggara terhadap salah satu kontestan pemilu sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 1971 kembali berulang. Asas pemilu semakin tidak bermakna, tujuan pemilu hanya menjadi alat legitimasi semu untuk kemenangan Golkar. Partai politik, - -PPP dan PDI, - - semakin merasa diperlakukan tidak adil. Kepercayaan terhadap pemerintah dan penyelenggara pemilu semakin menipis. Protes pun semakin tajam dan masif.
Protes dan keberatan PPP dan PDI terhadap kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara untuk menguntungkan Golkar pada Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, dijawab Pemerintah Orde Baru dalam penyelenggaraan Pemilu 1982 dengan menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu, dan membentuk suatu badan yang berperan dan berfungsi sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu. Badan tersebut diberi nomenklatur dengan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak) Pemilu.
Tetapi sampai pada penyelenggaraan Pemilu 1997, harapan terjadinya perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu tidak juga jadi kenyataan. Keberadaan Panwaslak Pemilu ternyata hanya formalitas dan bagian dari desain sandiwara pemilu saja. Akhirnya, ketidakpercayaan rakyat terhadap hasil pemilu menjadi salah satu komponen yang mendorong terjadinya Reformasi pada 1998, yang mengakhiri kekuasaan rezim Orde Baru.
Pada titik awal Reformasi, kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu benar-benar berada di titik nadir. Penyelenggaraan "pemilu curang" telah menjadi stigma di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Reformasi telah menjadi harapan baru. Pemerintah di bawah Presiden BJ Habibie mulai melakukan perbaikan terhadap penyelenggaraan pemilu pada pemilu yang dipercepat, 7 Juni 1999.
Salah satu langkah perbaikan adalah, presiden membentuk penyelenggaranya suatu komisi, yang terlepas dari institusi pemerintah. Dibentuklah Komisi Pemilihan Umum. Anggotanya terdiri dari 48 (empat puluh delapan) orang wakil partai politik dan 5 (lima) orang wakil pemerintah.
Demikian juga pada jajarannya sampai ke Tempat Pemungutan Suara, tidak lagi didominasi oleh pejabat pemerintah. Asas pemilu ditambah sebagai bentuk perbaikan dan penyesuaian terhadap tuntutan yang berkembang menjadi: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).
Penambahan asas jujur dan adil diharapkan menjadi spirit baru. Pengawasan Pemilu tetap diaktifkan dengan nomenklatur yang berubah menjadi Panwaslu.
Semangat dan spirit memperbaiki kualitas pemilu terus bergulir. Melalui amandemen UUD 1945 pada 2002, MPR yang anggotanya termasuk anggota DPR hasil Pemilu 1999 meletakkan asas pemilu dan institusi penyelenggara pemilu sebagai ketentuan di dalam UUD 1945, di mana hal ini tidak ditemukan di dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen berbunyi: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, dan pada Pasal 22 E ayat (5) berbunyi: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dengan ketentuan tersebut, maka jelas dan kuat kepastian hukum tentang penyelenggara pemilu yang terlepas dari pemerintah dan tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Berdalil pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut, maka kekuasaan eksekutif di tangan pemerintah, kekuasaan legislatif di tangan Dewan Perwakilan Rakyat, dan kekuasaan yudikatif di tangan Mahkamah Agung, setara kedudukannya dengan kewenangan penyelenggaraan pemilihan umum di tangan penyelenggara pemilu.
Berdalil pada ketentuan pasal yang sama, maka kemandirian penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraan pemilu tidak dapat dirusak oleh undang-undang yang bermuatan kepentingan pejabat kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Suatu komisi pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 sebagai penyelenggara pemilu, strukturnya berkembang sesuai tuntutan terwujudnya pemilu yang berkualitas dan beritegritas. Terakhir, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah lebih mempertegas yang dimaksud dengan penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD secara langsung oleh rakyat.
Oleh karena eksistensi penyelenggara pemilu sebagai institusi yang mandiri adalah amanat UUD1945, dan terselenggaranya pemilu yang memenuhi asas dan berintegritas adalah harapan rakyat, maka adalah kewajiban semua pihak di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini untuk mengambil peran mencitrakan KPU/Bawaslu/DKPP sebagai institusi yang mandiri, meyakinkan rakyat Indonesia bahwa penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) tidak dapat lagi diintervensi oleh kekuasaan pemerintah ataupun pemangku kepentingan lainnya. Agar, terwujud kualitas kepercayaan rakyat terhadap hasil pemilu yang akan menjadi modal penting dalam membangun kepercayaan rakyat pada format demokrasi Pancasila secara ideal.
Dengan terbuangnya stigma buruk terhadap penyelenggara pemilu tersebut, tumbuh keyakinan rakyat terhadap penyelenggara pemilu. Maka, teratasilah satu masalah yang merusak keyakinan rakyat terhadap hasil pemilu dan masalah yang menimbulkan apatis rakyat terhadap penyelenggaraan pemilu. - ---